Maret 01, 2012

Pengembangan Aktivitas, Kreativitas dan Motivasi Siswa

Dengan mengutip pemikiran Gibbs, E. Mulyasa (2003) mengemukakan hal-hal yang perlu dilakukan agar siswa lebih aktif dan kreatif dalam belajarnya, adalah: Dikembangkannya rasa percaya diri para siswa dan mengurangi rasa takut; Memberikan kesempatan kepada seluruh siswa untuk berkomunikasi ilmiah secara bebas terarah; Melibatkan siswa dalam menentukan tujuan belajar dan evaluasinya; Memberikan pengawasan yang tidak terlalu ketat dan tidak otoriter; Melibatkan mereka secara aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran secara keseluruhan. Sementara itu, Widada (1994) mengemukakan bahwa untuk meningkatkan aktivitas dan kreativitas siswa, guru dapat menggunakan pendekatan sebagai berikut : Self esteem approach; guru memperhatikan pengembangan self esteem (kesadaran akan harga diri) siswa. Creative approach; guru mengembangkan problem solving, brain storming, inquiry, dan role playing. Value clarification and moral development approach; guru mengembangkan pembelajaran dengan pendekatan holistik dan humanistik untuk mengembangkan segenap potensi siswa menuju tercapainya self actualization, dalam situasi ini pengembangan intelektual siswa akan mengiringi pengembangan seluruh aspek kepribadian siswa, termasuk dalam hal etik dan moral. Multiple talent approach; guru mengupayakan pengembangan seluruh potensi siswa untuk membangun self concept yang menunjang kesehatan mental. Inquiry approach; guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menggunakan proses mental dalam menemukan konsep atau prinsip ilmiah serta meningkatkan potensi intelektualnya. Pictorial riddle approach; guru mengembangkan metode untuk mengembangkan motivasi dan minat siswa dalam diskusi kelompok kecil guna membantu meningkatkan kemampuan berfikir kritis dan kreatif. Synetics approach; guru lebih memusatkan perhatian pada kompetensi siswa untuk mengembangkan berbagai bentuk metaphor untuk membuka inteligensinya dan mengembangkan kreativitasnya. Kegiatan pembelajaran dimulai dengan kegiatan yang tidak rasional, kemudian berkembang menuju penemuan dan pemecahan masalah secara rasional. Sedangkan untuk membangkitkan motivasi belajar siswa, menurut E. Mulyasa (2003) perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut : Bahwa siswa akan belajar lebih giat apabila topik yang dipelajarinya menarik dan berguna bagi dirinya; Tujuan pembelajaran harus disusun dengan jelas dan diinformasikan kepada siswa sehingga mereka mengetahui tujuan belajar yang hendak dicapai. Siswa juga dilibatkan dalam penyusunan tersebut; Siswa harus selalu diberitahu tentang hasil belajarnya; Pemberian pujian dan hadiah lebih baik daripada hukuman, namun sewaktu-waktu hukuman juga diperlukan; Manfaatkan sikap-sikap, cita-cita dan rasa ingin tahu siswa; Usahakan untuk memperhatikan perbedaan individual siswa, seperti : perbedaan kemampuan, latar belakang dan sikap terhadap sekolah atau subyek tertentu; Usahakan untuk memenuhi kebutuhan siswa dengan jalan memperhatikan kondisi fisiknya, rasa aman, menunjukkan bahwa guru peduli terhadap mereka, mengatur pengalaman belajar sedemikian rupa sehingga siswa memperoleh kepuasan dan penghargaan, serta mengarahkan pengalaman belajar kearah keberhasilan, sehingga mencapai prestasi dan mempunyai kepercayaan diri.

Perilaku Nyontek Dalam Pendidikan

Menyontek atau cheating memang bukan hal baru dalam dunia pendidikan, yang biasanya dilakukan oleh seorang atau sekelompok siswa/mahasiswa pada saat menghadapi ujian (test), misalnya dengan cara melihat catatan atau melihat pekerjaan orang lain atau pada saat memenuhi tugas pembuatan makalah (skripsi) dengan cara menjiplak karya orang lain dengan tanpa mencantumkan sumbernya (plagiat). Menurut Wikipedia cheating merupakan tindakan bohong, curang, penipuan guna memperoleh keuntungan teretentu dengan mengorbankan kepentingan orang lain. Meski tidak ditunjang dengan bukti empiris, banyak orang menduga bahwa maraknya korupsi di Indonesia sekarang ini memiliki korelasi dengan kebiasaan menyontek yang dilakukan oleh pelakunya pada saat dia mengikuti pendidikan. Sebenarnya, secara formal setiap sekolah atau institusi pendidikan lainnya pasti telah memiliki aturan baku yang melarang para siswanya untuk melakukan tindakan nyontek. Namun kadang kala dalam prakteknya sangat sulit untuk menegakkan aturan yang satu ini. Pemberian sanksi atas tindakan nyontek yang tidak tegas dan konsisten merupakan salah satu faktor maraknya perilaku nyontek. Tindakan nyontek (plagiasi) semakin subur dengan hadirnya internet, ketika siswa atau mahasiswa diberi tugas oleh guru atau dosen untuk membuat makalah banyak yang meng-copy- paste berbagai tulisan yang ada dalam internet secara bulat-bulat. Mungkin masih agak lumayan kalau tulisan yang di-copy-paste-nya itu dipahami terlebih dahulu isinya, seringkali tulisan itu langsung diserahkan kepada guru/dosen, dengan sedikit editing menggantikan nama penulis aslinya dengan namanya sendiri. Yang lebih mengerikan justru tindakan nyontek dilakukan secara terrencana dan konspiratif antara siswa dengan guru, tenaga kependidikan (baca: kepala sekolah, birokrat pendidikan, pengawas sekolah, dll) atau pihak-pihak lainnya yang berkepentingan dengan pendidikan, seperti yang terjadi pada saat Ujian Nasional. Jelas, hal ini merupakan tindakan amoral yang sangat luar biasa, justru dilakukan oleh orang-orang yang berlabelkan “pendidikan”. Mereka secara tidak langsung telah mengajarkan kebohongan kepada siswanya, dan telah mengingkari hakikat dari pendidikan itu sendiri. Di lain pihak, para orang tua siswa pun dan mungkin pemerintah setempat sepertinya berterima kasih dan memberikan dukungan atas “bantuan yang diberikan sekolah” kepada putera-puterinya pada saat mengisi soal-soal ujian nasional. Sekolah-sekolah yang permisif terhadap perilaku nyontek dengan berbagai bentuknya, sudah semestinya ditandai sebagai sekolah berbahaya, karena dari sekolah-sekolah semacam inilah kelak akan lahir generasi masa depan pembohong dan penipu yang akan merugikan banyak orang. Secara psikologis, mereka yang melakukan perilaku nyontek pada umumnya memiliki kelemahan dalam perkembangan moralnya, mereka belum memahami dan menyadari mana yang baik dan buruk dalam berperilaku. Selain itu, perilaku nyontek boleh jadi disebabkan pula oleh kurangnya harga diri dan rasa percaya diri (ego weakness). Padahal kedua aspek psikologi inilah yang justru lebih penting dan harus dikembangkan melalui pendidikan untuk kepentingan keberhasilan masa depan siswanya. Akhirnya, apa pun alasannya perilaku nyontek khususnya yang terjadi pada saat Ujian Nasional harus dihentikan. Bagaimana pendapat Anda?

Hindari Memotivasi dengan Ancama

Dalam perspektif manajemen, salah satu tugas yang harus dijalankan oleh seorang pemimpin adalah berusaha memotivasi setiap individu yang dipimpinnya agar memiliki motivasi yang kuat dalam melaksanakan setiap tugas dan pekerjaannya, sehingga pada girilirannya dapat dihasilkan kinerja yang unggul. Misalnya, untuk meningkatkan kinerja guru, kepala sekolah atau pengawas sekolah dituntut untuk dapat membina dan meningkatkan motivasi kerja guru. Demikian pula, untuk meningkatkan kinerja siswa (prestasi belajar siswa), seorang guru dituntut untuk dapat membina dan meningkatkan motivasi belajar siswanya. Upaya memotivasi (motivating) individu dapat dilakukan melalui berbagai cara. Menurut Huse dan Bowditch (1973), terdapat tiga model memotivasi seseorang, yaitu: (1) model kekuatan dan ancaman; (2) model ekonomik/mesin, dan (3) model pertumbuhan-sistem terbuka. Yang akan kita bicarakan di sini adalah model yang pertama yaitu pemotivasian model kekuatan dan ancaman (a force and coercion model). Model ini merupakan model tertua dan sangat sederhana dalam memahami atau memandang manusia. Model ini mempratikkan pemotivasian dengan cara memaksa orang lain (baik melalui tindakan atau verbal) untuk berperilaku tertentu dengan cara menggunakan ancaman, intimidasi atau bentuk lain yang bersifat represif dengan menggunakan kekuatan (power), yang dimilikinya. Asumsi yang mendasari model pemotivasian model kekuatan dan ancaman ini adalah bahwa seseorang akan bekerja (belajar atau berperilaku) dengan baik apabila disudutkan pada sebuah situasi, di mana ia hanya bisa memilih bekerja ataukah dihukum (Huse dan Bowditch, 1973). Asumsi ini senada dengan asumsi yang mendasari teori X-nya McGregor, bahwa pada dasarnya manusia itu malas, suka menghindari tugas dan tanggung jawab, dan apabila tidak diintervensi dan diancam oleh atasan, maka ia akan pasif. Oleh sebab itu agar seseorang mau bekerja ia harus dipaksa (Carver dan Sergiovanni, 1969). Pemotivasian Model Kekuatan dan Ancaman oleh beberapa kalangan sering disebut sebagai strategi buntu, yaitu strategi yang terpaksa digunakan ketika pemimpin sudah merasa kehabisan akal (atau justru kehilangan kewarasannya?) untuk merubah perilaku orang-orang yang dipimpinnya. Sepintas, model pemotivasian yang menebarkan kecemasan ini tampak sangat efektif untuk memotivasi seseorang. Melalui ancaman dan intimidasi tertentu, orang akan menjadi patuh dan bekerja sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan (atau mungkin tepatnya sesuai dengan keinginan). Namun dibalik itu perlu diwaspadai, penggunaan pemotivasian model kekuatan dan ancaman ini ternyata dapat menjadikan orang tidak bahagia dan dapat merusak kepribadian seseorang. Dengan adanya ancaman terus menerus, orang akan merasa tidak bisa mengembangkan potensinya, mengalami ketumpulan berfikir, dan mengalami ketegangan jiwa (stress). Dalam konteks sekolah, Les Parsons dalam bukunya yang berjudul Bullied Teacher Bullied Student mengupas tentang perilaku intimidasi di sekolah yang dilakukan siswa, guru dan kepala sekolah. Dikatakannya, bahwa pelaku intimidasi secara sengaja bermaksud menyakiti seseorang secara fisik, emosi atau sosial dan pelaku intimidasi sering merasa perbuatannya itu dapat dibenarkan. Dalam konteks bisnis, hasil penelitian yang dilakukan oleh Dr Nicolas Gillet, dari Universite François Rabelais di Prancis menunjukkan bahwa manajer yang menggunakan ancaman sebagai cara untuk memotivasi karyawan, cenderung memiliki dampak negatif pada kesejahteraan karyawan. Jika sudah seperti ini, maka hasil dari upaya pemotivasian akan menjadi terbalik, seharusnya dapat meningkatkan kinerja atau prestasi yang lebih baik malah yang terjadi adalah penderitaan dan kerusakan kepribadian. Oleh karena itu, untuk menjadi pemimpin yang sukses sedapat mungkin kita perlu menghindari penggunaan pemotivasian model kekuatan dan ancaman ini. Gunakanlah cara-cara pemotivasian lain yang lebih manusiawi, yang dapat menjadikan orang-orang berbahagia, mampu berinovasi dan dapat mengoptimalkan segenap potensi yang dimilikinya. Bagaimana menurut Anda?