Maret 28, 2012

SISTEM HORMON PADA SERANGGA

SISTEM HORMON PADA SERANGGA HORMON-HORMON PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN Pada mulanya studi tentang hormon hanya dilakukan pada vertebrata. Ada anggapan bahwa serangga tidak menghasilkan hormon dalam kehidupannya. Dilakukan pula studi-studi ekstirpasi, memotong bagian tubuh yang dicurigai sebagai sumber hormon dan dilihat akibatnya, atau kemudian mencangkokkannya ke hewan lain yang tidak memiliki organ serupa (transplantasi). Kedua teknik ini, ketika dilakukan pada serangga, tidak menghasilkan apa-apa. Sebab utamanya (pada saat itu tidak/kurang disadari) adalah asal bahan uji dari mammalia/vertebrata, karena anggapan salah bahwa hormon hanya dihasilkan oleh vertebrata. Pendekatan lain digunakan oleh Stefan Kanfer (Polandia), yang menggunakan ulat Lymantria dispar. Pertanyaan hipotetisnya adalah: apa yang menyebabkan larva berubah menjadi pupa? Adakah bahan kimia yang mengatur pertumbuhan demikian? Dia menganggap bahwa otak serangga pastilah memiliki peran penting dalam hal ini. Digunakan teknik-teknik ekstirpasi dengan sham-operation, membuka bagian kepala, ambil otaknya dan ditutup lagi. Juga teknik ligasi, dengan mengikat tubuh pada bagian tertentu erat-erat, sehingga tidak ada hubungan antara bagian anterior dan posterior. Teknik-teknik ini ternyata inkonklusif. Kenyataan yang pada saat itu tidak disadari adalah bahwa hormon dilepasakan hanya pada saat-saat tertentu saja, tidak sepanjang waktu. Ada saat yang disebut sebagai critical period, dan pengertian-pengertian precritical dan post-critical, atau perioda pra dan pasca kritis. Pada ekstirpasi dan ligasi, hasilnya adalah: Larva instar 5 umur 7 hari umur 10 hari Ekstirpasi tidak terjadi pupa ada pupa Ligasi hanya bagian dekat kepala yang jadi pupa semua bagian jadi pupa Mengkonfirmasikan bahwa studi hormon haruslah memperhatikan saat yang tepat/adanya perioda kritis tersebut. Uji konfirmasi hormon sendiri kemudian diikuti dengan teknik transfusi, menyuntikkan darah serangga yang telah mengalami perioda pasca kritis kepada serangga dalam kondisi prakritis. Selain itu juga dengan mencari kemungkinan lain: apakah bukan hanya impuls syaraf saja ? Ketika korda syaraf dipotong, Ini ternyata pupasi masih terjadi. berarti yang mendorong terjadinya pupasi adalah sesuatu yang terkandung dalam darah. Studi-studi selanjutnya dilakukan oleh Gotfried Fraenckel (Jerman) dan Vincent B. Wigglesworth (Inggris) pada tahun 1934. Sampai saat ini VBW dianggap sebagai bapak Fisiologi Serangga. Wigglesworth menggunakan kepik Rhodnius prolixus (Hemiptera) karena mudah dipelihara dan mudah dimanipulasi, sedang Fraenckel menggunakan genus-genus Calliphora, Sarcophaga dan Phormia, lalat dari subordo Cyclorrapha, ordo Diptera. Teknik yang dipergunakan oleh VBW adalah parabiosis, dengan asumsi hormon adalah substansi yang dibawa oleh darah, dan telah diketahui adanya konsepsi tentang perioda prakritis. Parabiosis dilakukan dengan memotong suatu serangga, menghilangkan bagian yang dicurigai mengandung kelenjar endokrin, kemudian dipasangkan pada serangga lain yang masih memiliki kelenjar tersebut (gambar 48.0 hand-out bhs. Inggris). Untuk mengetahui waktu kritis, dilakukan ekstirpasi kepala, kemudian serangga dikumpulkan sesuai dengan usia/waktunya sesudah makan. Eksperimen VWB dengan menyambungkan serangga instar 5 usia sehari dengan instar 5 usia delapan hari ternyata menghasilkan 50:50, artinya 50% mengalami molting, 50% lagi tidak. Ini dapat dipahami karena hormon diproduksi dalam jumlah terbatas. Juga kemudian terjadi pengenceran (ada dilution factor) yang mengakibatkan titer (konsentrasi) hormon belum mencapai ambang tertentu sehingga tidak menginduksi molting. Karena itu dilakukan parabiosis terhadap lebih dari dua individu (lihat gambar 6.12). Kemudian dilakukan juga gabungan antara dua individu instar 4 dengan satu dewasa. Yang terjadi serangga dewasa mengalami pertumbuhan mundur (regressi) sehingga menyerupai bentuk muda. Ini disebabkan karena titer hormon pada instar 4 lebih tinggi daripada instar 5 (akhir), yang memang sudah mendekati nol. Kombinasi-kombinasi yang lain adalah: Dari penelitian VBW ini dapat disimpulkan bahwa dari otak terdapat bahan/hormon yang menginduksi molting, dan kemudian diketahui pula bahwa ada hormon lain yang menyertai proses molting itu, yang kemudian disebut sebagai juvenile hormone. Sementara itu Fraenckel (GF) melakukan penelitian dengan menggunakan puparium berdasarkan pengertian bahwa integumen larva instar terakhir akan menjadi covering atau penutup pupa yang berbentuk seperti tong kecil (barrel shaped). Pada saat itu konsep perioda kritis juga sudah diketahui. Sementara itu untuk mendapatkan pupa bentuk tong, diperlukan korda syaraf yang masih utuh, tidak terpotong. Oleh karena itu untuk larva lalat ini tidak dapat dilakukan teknik-teknik ekstirpasi dan mitigasi. Dilakukan kemudian ligasi (pengikatan), dan kemudian ke bagian posterior disuntikkan hormon yang telah diekstraksi. Prosedur ini kemudian dikenal sebagai bioesei Calliphora (Calliphoran bioassay), meski dalam perkembangannya larva Sarcophaga dan Phormiajuga dipergunakan (larva Musca lebih banyak digunakan untuk bioassay toksikologi). Bioesei Calliphora selanjutnya merupakan uji yang umum dipergunakan untuk mencek suatu substansi apakah memiliki kemampuan hormonal atau tidak. Satu-satunya kekurangannya adalah bahwa uji ini sangat tergantung pada jumlah bahan yang dicek. Cara penentuan konsentrasinya haruslah tepat dan meliput sampai tingkat yang diskriminatif. Apabila hormonnya dapat diidentifikasi dengan baik, selanjutnya digunakan jumlah bahan dalam konsentrasi pasti. Namun untuk mengetahui jumlah hormon yang dibutuhkan dari satu individu ke individu yang lain amat sulit dilakukan. GF sendiri tidak tahu apa yang disebut hormon, dia menyebutnya sebagai "blood factor", suatu faktor dalam darah yang mendorong terjadinya pupasi, berasal dari otak. Pada kurun yang hampir sama, Fukuda dari Jepang mempelajarihal yang sama dengan menggunakan ulat sutera Bombyx mori, mencoba mencari faktor pendorong terjadinya molting dengan teknik ligasi dan ekstirpasi terhadap otak dan juga daerah kelenjar protoraks.Ternyata pupasi tidak terjadi. Namun Fukuda tidak mengetahui hubungan antara otak dengan kelenjar protoraks. Dilakukan pula transplantasi kelenjar protoraks ke abdomen yang tak memiliki kelenjar ini lagi. Hasilnya ternyata banyak yang negatif, hanya karena dia tak mengetahui adanya hubungan antara otak dengan PTG (kelenjar protoraks, prothoracic gland). Ecdyson, hormon molting Peneliti yang lain, Carroll Williams, tahun 1940an, menggunakan larva ngengat Saturniidae (Hyalophora cecropia dan Antherya pernyii). Penelitiannya menghasilkan hormon yang akhirnya teridentifikasi secara lengkap (ecdyson, suatu hormon molting). Temuan juga menunjukkan hubungan antara perubahan suhu dengan kondisi otak yang selanjutnya akan muncul dalam ujud diapause saat pupa, atau akan terus berkembang sehingga stadium pupa tidak mengalami diapause (Diapause Obligat, dan Diapause Fakultatif). [Untuk struktur dan jenis ecdyson selanjutnya dapat dilihat pada hand out bhs. Inggris, demikian juga dengan biosintesisnya]. Yang perlu dicatat adalah, karena ecdyson adalah suatu sterol, yang biosintesisnya berasal dari kholesterol, maka dibutuhkan makanan yang cukup mengandung kholesterol supaya serangga dapat memiliki cukup ecdyson. Sementara itu pada tumbuhan sendiri dijumpai bentukan lanjut sterol yang sangat mirip ecdyson dan disebut sebagai "phytoecdyson". Bahan ini bekerjanya tidak spesifik, karena ternyata dapat digunakan oleh banyak jenis artropoda. Hormon yuwana, Juvenile Hormone (JH) Hormon lain yang juga teridentifikasi dari berbagai percobaan dalam mencari faktor molting adalah JH (hormon yuwana, juvenile hormone). Hormon ini dijumpai hampir pada semua artropoda dan krustasea. JH dipergunakan untuk mempertahankan stadium muda, sehingga apabila dalam suatu instar pradewasa dijumpai titer JH yang sangat rendah, artinya stadium larvanya menjelang selesai. Lebih lengkapnya pada bab Hubungan antara Ecdyson dan JH dalam pengaturan metamorfose. JH merupakan suatu senyawa steroid dengan gugus epoksida disalah satu ujungnya. Dikenal beberapa bentuk/macam JH, misalnya JH diol, hidro JH, metil JH, iso JH dll. Ini disebabkan karena beberapa ujung merupakan gugus yang reaktif, sehingga dalam lingkungan berbeda akan mengikat senyawa lain yang berbeda pula. Sementara itu, meski pada akhir instar pradewasa JH bisa nol sama sekali, tetapi pada stadium dewasa, JH juga kembali disintesis, dan digunakan untuk memberi tanda pada badan lemak bahwa saatnya telah tiba untuk menyusun vitellogenin, suatu senyawa kimia yang merupakan penanda dimulainya proses pemasakan telur, misalnya seperti yang dijumpai pada nyamuk. Bioassay JH dilakukan antara lain dengan teknik RIA atau Radioimmunoassay, menggunakan vertebrata seperti misalnya tikus, ayam atau kelinci. Hewan-hewan tersebut disuntik dengan ekstrak JH dalam bentuk preparasi yang sesuai, maka akan terbentuklah antibody dalam tubuh hewan percobaan (donor antibodi). Antibodi ini spesifik untuk JH (antibodi anti JH), kemudian diisolasi. Anti JH ini dapat diberi label dengan isotop, kemudian digunakan untuk assay dalam hemolimfa serangga. Perhitungannya adalah dengan menghitung nisbah antara antibodi berlabel yang masih bebas dengan antibodi yang sudah mengikat JH, dengan menggunakan alat LSC (Liquid Scintillation Counter), [JH] dapat dihitung. Cara kedua adalah dengan menggunakan HPLC (high pressureliquid chromatography). JH yang ada dalam hemolimf di ekstrak dengan pelarut organik (heksan-eter). Fase organiknya lalu dipartisi cair/cair (karena JH adalah lipid--steroid--, maka akan terlarut pada fasa organik). Setelah pemurnian lewat partisi kemudian disuntikkan ke HPLC. Keunggulan cara ini adalah bahwa sampel ekstrak masih tetap utuh karena tidak diuapkan (berbeda dengan GLC yang menggunakan sampel fase gas). Hubungan antara Ecdyson dan JH dalam mengatur metamorfose. Pengaturan proses metamorfose merupakan mekanisme hormonal yang cukup rumit dan melibatkan beberapa organ secara serentak. Pada mulanya, apabila saat ganti kulit tiba, maka korpora kardiaka pada otak mengeluarkan suatu hormon tropik (hormon yang mengawali keluarnya hormon lain) ke protoraks, sehingga hormonnya disebut hormon protorakotropik. Oleh adanya HPTT (PTTH, prothoracotropic hormone) ini, maka kelenjar protoraks akan mengeluarkan hormon à-ecdyson, karena aktivasi utusan kedua ("second messenger") AMP siklik (cAMP) yang menyebabkan dilepaskannya hormon. à-ecdyson ini kemudian akan mengaktivasi á-ecdyson, dan selanjutnya á-ecdyson menuju ke suatu reseptor protein yang berada pada integumen, dan kemudian terikat ("bound") pada reseptor tersebut. Ikatan ini menandai dimulainya sintesis protein untuk menyusun kutikula baru dan pada prosesnya menyebabkan kutikula baru dan lama saling terpisah (apolisis). Pada waktu yang bersamaan dengan aktivasi oleh HPTT, korpora alata yang terdapat di perbatasan antara protoraks dan otak juga mulai mengeluarkan hormon yuwana (JH). Titer JH ini menentukan jenis kutikula apa yang akan disusun oleh bagian integumen. Apabila titer JH masih cukup tinggi, yang dibentuk adalah kutikula instar berikutnya. Ekskresi JH dari satu instar ke instar berikutnya makin rendah, dan pada batas titer tertentu menyebabkan yang disusun adalah kutikula pupa. Pada pupa, titer JH sudah sama dengan nol, sehingga jika kemudian terjadi pergantian kulit lagi, maka yang muncul adalah kulit serangga dewasa. Demikian yang terjadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Lupa berikan coment
Terima kasih atas kunjungan anda