Desember 07, 2011

Tanda Zuhud


Tanda-Tanda Zuhud
Zuhud adalah salah satu akhlak utama seorang muslim. Terutama saat di hadapannya terbentang lebar kesempatan untuk meraih dunia dengan segala macam perbendaharaannnya. Apakah itu kekuasaan, harta, kedudukan, dan segala fasilitas lainnya. Karenanya, zuhud adalah karakteristik dasar yang membedakan antara seorang mukmin sejati dengan mukmin awam. Jika tidak memiliki keistimewaan dengan karakteristik ini, seorang mukmin tidak dapat dibedakan lagi dari manusia kebanyakan yang terkena fitnah dunia.


Apalagi seorang dai. Jika orang banyak mengatakan dia ”sama saja”, tentu nilai-nilai yang didakwahinya tidak akan membekas ke dalam hati orang-orang yang didakwahinya. Dakwahnya layu sebelum berkembang. Karena itu, setiap mukmin, terutama para dai, harus menjadikan zuhud sebagai perhiasan jati dirinya.

Rasulullah saw. bersabda,”Zuhudlah terhadap apa yang ada di dunia, maka Allah akan mencintaimu. Dan zuhudlah terhadap apa yang ada di sisi manusia, maka manusia pun akan mencintaimu” (HR Ibnu Majah, tabrani, Ibnu Hibban dan Al-Hakim)


Makna dan Hakikat Zuhud

Makna dan hakikat zuhud banyak diungkap Al-Qur’an, hadits, dan para ulama. Misalnya surat Al-Hadiid ayat 20-23 berikut ini.

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”

Ayat di atas tidak menyebutkan kata zuhud, tetapi mengungkapkan tentang makna dan hakikat zuhud. Ayat ini menerangkan tentang hakikat dunia yang sementara dan hakikat akhirat yang kekal. Kemudian menganjurkan orang-orang beriman untuk berlomba meraih ampunan dari Allah dan surga-Nya di akhirat.

Selanjutnya Allah menyebutkan tentang musibah yang menimpa manusia adalah ketetapan Allah dan bagaimana orang-orang beriman harus menyikapi musibah tersebut. Sikap yang benar adalah agar tidak mudah berduka terhadap musibah dan apa saja yang luput dari jangkauan tangan. Selain itu, orang yang beriman juga tidak terlalu gembira sehingga hilang kesadaran terhadap apa yang didapatkan. Begitulah metodologi Al-Qur’an ketika berbicara tentang nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang mengarahkan manusia untuk bersikap zuhud.


Dari ayat itu juga, kita mendapat pelajaran bahwa akhlak zuhud tidak mungkin diraih kecuali dengan mengetahui hakikat dunia –yang bersifat sementara, cepat berubah, rendah, hina dan bahayanya ketika manusia mencintanya– dan hakikat akhirat –yang bersifat kekal, baik kenikmatannya maupun penderitaannya.

Demikian juga ketika Rasulullah saw., ingin membawa para sahabatnya pada sikap zuhud, beliau memberikan panduan bagaimana seharusnya orang-orang beriman menyikapi kehidupannya di dunia.

Rasulullah bersabda, ”Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau musafir.”(HR Bukhari).

Selanjutnya Rasulullah mencontohkan langsung kepada para sahabat dan umatnya bagaimana hidup di dunia. Beliau adalah orang yang paling rajin bekerja dan beramal shalih, paling semangat dalam ibadah, paling gigih dalam berjihad. Tetapi pada saat yang sama beliau tidak mengambil hasil dari semua jerih payahnya di dunia berupa harta dan kenikmatan dunia. Kehidupan Rasulullah saw. sangat sederhana dan bersahaja. Beliau lebih mementingkan kebahagiaan hidup di akhirat dan keridhaan Allah swt. Ibnu Mas’ud ra. melihat Rasulullah saw. tidur di atas kain tikar yang lusuh sehingga membekas di pipinya, kemudian berkata, ”Wahai Rasulullah saw., bagaimana kalau saya ambilkan untukmu kasur?” Maka Rasulullah saw. menjawab, ”Untuk apa dunia itu! Hubungan saya dengan dunia seperti pengendara yang mampir sejenak di bawah pohon, kemudian pergi dan meninggalkannya.” (HR At-Tirmidzi)

Para ulama memperjelas makna dan hakikat zuhud. Secara syar’i, zuhud bermakna mengambil sesuatu yang halal hanya sebatas keperluan. Abu Idris Al-Khaulani berkata, ”Zuhud terhadap dunia bukanlah mengharamkan yang halal dan membuang semua harta. Akan tetapi zuhud terhadap dunia adalah lebih menyakini apa yang ada di sisi Allah ketimbang apa yang ada di tangan kita. Dan jika kita ditimpa musibah, maka kita sangat berharap untuk mendapatkan pahala. Bahkan ketika musibah itu masih bersama kita, kita pun berharap bisa menambah dan menyimpan pahalanya.” Ibnu Khafif berkata, ”Zuhud adalah menghindari dunia tanpa terpaksa.” Ibnu Taimiyah berkata, ”Zuhud adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat di akhirat nanti, sedangkan wara’ adalah meninggalkan sesuatu yang ditakuti bahayanya di akhirat nanti.”

Keutamaan Zuhud terhadap Dunia

Zuhud merupakan sifat mulia orang beriman karena tidak tertipu oleh dunia dengan segala kelezatannya baik harta, wanita, maupun tahta. Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia. Tapi, orang beriman beramal shalih di dunia, memakmurkan bumi, dan berbuat untuk kemaslahatan manusia, kemudian mereka meraih hasilnya di dunia berupa fasilitas dan kenikmatan yang halal di dunia. Pada saat yang sama, hati mereka tidak tertipu pada dunia. Mereka meyakini betul bahwa dunia itu tidak kekal dan akhiratlah yang lebih baik dan lebih kekal. Sehingga, orang-orang beriman beramal di dunia dengan segala kesungguhan bukan hanya untuk mendapatkan kenikmatan sesaat di dunia, tetapi untuk meraih ridha Allah dan surga-Nya di akhirat.


Berikut ini ayat-ayat Al-Qur’an dan beberapa Hadits yang menerangkan keutamaan zuhud terhadap dunia:

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). Katakanlah: “Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?” Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah; dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (Ali Imran: 14-15).

Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. (Al-Kahfi: 45-46)

Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui. (Al-Ankabut: 64).

Rasulullah saw. bersabda, “Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku takuti atas kalian, tetapi aku takut pada kalian dibukakannya dunia bagi kalian sebagaimana telah dibuka bagi umat sebelum kalian. Kemudian kalian berlomba-lomba sebagaimana mereka berlomba-lomba, dan menghancurkan kalian sebagaimana telah menghancurkan mereka.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Rasulullah saw. mengabarkan kepada kita bahwa didatangkan orang yang paling senang di dunia sedang dia adalah ahli neraka di hari kiamat, dicelupkan ke dalam api neraka satu kali celupan. Kemudian ditanya, ”Wahai anak Adam, apakah engkau pernah merasakan kebaikan? Apakah engkau merasakan kenikmatan (di dunia)?” Maka dia menjawab, ”Tidak, demi Allah, wahai Rabbku.” Kemudian didatangkan orang yang paling menderita di dunia dan dia ahli surga, dicelupkan satu kali celupan di surga. Kemudian ditanya, ”Wahai Anak Adam, apakah engkau pernah menderita kesulitan? Apakah lewat padamu suatu kesusahan (di dunia)?” Maka ia menjawab, ”Tidak, demi Allah, wahai Rabbku, tidak pernah aku mengalami kesusahan dan kesulitan sedikitpun.” (HR Muslim)

Rasulullah bersabda, “Demi Allah, perbandingan dunia dengan akhirat seperti seorang menyelupkan tangannya ke dalam lautan, lihatlah apa yang tersisa.” (HR Muslim)

Tanda-tanda Zuhud

Imam Al-Ghazali menyebutkan ada 3 tanda-tanda zuhud, yaitu:

pertama, tidak bergembira dengan apa yang ada dan tidak bersedih karena hal yang hilang.

Kedua, sama saja di sisinya orang yang mencela dan mencacinya, baik terkait dengan harta maupun kedudukan.

Ketiga, hendaknya senantiasa bersama Allah dan hatinya lebih didominasi oleh lezatnya ketaatan. Karena hati tidak dapat terbebas dari kecintaan. Apakah cinta Allah atau cinta dunia. Dan keduanya tidak dapat bersatu.

Jadi, tanda zuhud adalah tidak adanya perbedaan antara kemiskinan dan kekayaan, kemuliaan dan kehinaan, pujian dan celaan karena adanya dominasi kedekatan kepada Allah.

Yahya bin Yazid berkata, ”Tanda zuhud ada dermawan dengan apa yang ada.” Imam Ahmad bin Hambal dan Sufyan r.a. berkata, ”Tanda zuhud adalah pendeknya angan-angan.”

Kehidupan zuhud ini dicontoh oleh para sahabatnya: Abu Bakar, Umar, Utsman bin Affan, dan Abdurrahman bin Auf. Mereka adalah beberapa sahabat yang kaya raya, tetapi tidak mengambil semua harta kekayaannya untuk diri sendiri dan keluarganya. Sebagian besar harta mereka habis untuk dakwah, jihad, dan menolong orang-orang beriman. Mereka adalah tokoh pemimpin dunia yang dunia ada dalam genggamannya, namun tidak tertipu oleh dunia. Bahkan, mereka lebih mementingkan kehidupan akhirat dengan segala kenikmatannya. Abu Bakar berkata, ”Ya Allah, jadikanlah dunia di tangan kami, bukan di hati kami.”

Suatu saat Ibnu Umar mendengar seseorang bertanya, ”Dimana orang-orang yang zuhud terhadap dunia dan mencintai akhirat?” Lalu Ibnu Umar menunjukkan kuburan Rasulullah saw., Abu Bakar, dan Umar, seraya balik bertanya, ”Bukankah kalian bertanya tentang mereka?”

Abu Sulaiman berkata, ”Utsman bin ‘Affan dan Abdurrahman bin Auf adalah dua gudang harta dari sekian banyak gudang harta Allah yang ada di bumi. Keduanya menginfakkan harta tersebut dalam rangka mentaati Allah, dan bersiap menuju Allah dengan hati dan ilmunya.”

Dengan demikian hanya orang yang berimanlah yang dapat memakmurkan bumi dan memimpin dunia dengan baik, karena mereka tidak menghalalkan segala cara untuk meraihnya. Demikianlah cara umat Islam memimpin dunia, mulai dari Rasulullah saw., khulafaur rasyidin sampai pemimpin berikutnya. Pemerintahan Islam berhasil menghadirkan keamanan, perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan. Perdaban dibangun atas dasar keimanan dan moral. Pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, salah satu pemimpin yang paling zuhud, masyarakat merasakan ketentraman, kesejahteraan, dan keberkahan. Tidak ada lagi orang yang miskin yang meminta-minta, karena kebutuhannya sudah tercukupi.

Tingkatan Zuhud

Zuhud orang-orang beriman memiliki tingkatan. Zuhud terhadap yang haram, zuhud terhadap yang makruh, zuhud terhadap yang syubhat, dan zuhud terhadap segala urusan dunia yang tidak ada manfaatnya untuk kebaikan hidup di akhirat.

Zuhud terhadap yang haram hukumnya wajib. Orang-orang beriman harus zuhud atau meninggalkan segala sesuatu yang diharamkan Allah. Bahkan sifat-sifat orang beriman, bukan hanya meninggalkan yang diharamkan, tetapi meninggalkan segala sesuatu yang tidak berguna. Kualitas keimanan dan keislaman seseorang sangat terkait dengan kemampuannya dalam meninggalkan segala sesuatu yang tidak berguna. Allah swt. berfirman, “Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.” (Al-Mu’minun: 3). Rasulullah saw. bersabda, ”Diantara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak berguna.” (HR At-Tirmidzi)

Imam Ahmad mengatakan, ”Zuhud ada tiga bentuk. Pertama, meninggalkan sesuatu yang haram, dan ini adalah zuhudnya orang awwam. Kedua, meninggalkan berlebihan terhadap yang halal, ini adalah zuhudnya golong yang khusus. Ketiga, meninggalkan segala sesuatu yang menyibukkannya dari mengingat Allah, dan ini adalah zuhudnya orang-orang arif.”

Hal yang berkaitan dengan zuhud ada 6 perkara. Seseorang tidak berhak menyandang sebutan zuhud sehingga bersikap zuhud terhadap 6 perkara tersebut, yaitu; harta, rupa (wajah), kedudukan (kekuasaan), manusia, nafsu, dan segala sesuatu selain Allah. Namun demikian, ini bukan berarti menolak kepemilikan terhadapnya. Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s. adalah orang yang paling zuhud di zamannya, tetapi memiliki banyak harta, wanita, dan kedudukan.

Nabi Muhammad saw. adalah nabi yang paling zuhud, tetapi juga punya beristri lebih dari satu. Sembilan dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga tanpa hisab, kecuali Ali bin Abi Thalib, semuanya kaya raya, tetapi pada saat yang sama mereka adalah orang yang paling zuhud. Mereka adalah Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Abu Ubaidah bin Jarrah, Abdurahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, Saad bin Abi Waqqas, dan Said bin Abdullah. Sedangkan Ali bin Abi Thalib adalah sahabat yang paling zuhud. Meskipun demikian ketika meninggal dunia, beliau meninggalkan 21 wanita: 4 orang istri merdeka dan 17 budak wanita.

Setiap orang beriman harus senantiasa meningkatkan kualitas zuhudnya. Itulah yang akan memberinya kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat serta meraih ridha Allah swt. Orang-orang yang berkerja keras mencari nafkah dengan cara yang halal. Ketika berhasil meraih banyak harta kemudian menunaikan kewajiban atas harta tersebut, seperti zakat, infak, dan lainnya. Dengan berlaku seperti itu, dia termasuk orang zuhud. Orang-orang yang beriman yang memiliki istri lebih dari satu untuk membersihkan dirinya (iffah) adalah termasuk orang yang zuhud.

Sedangkan orang kafir, karakteristiknya adalah rakus terhadap kehidupan dunia dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Bagi mereka tidak ada istilah halal dan haram. Mereka tidak mengenal perbedaan antara nikah dengan zina, antara hadiah dengan suap, antara bisnis dengan riba, antara makanan halal dengan yang haram. Bahkan pada hal yang dianggap tabu saja orang-orang kafir berupaya menghalakan semuanya. Perzinaan mereka menghalalkan dengan dalil hak asasi manusia.

Berawal dari kebebasan hak untuk membuka aurat dalam berbusana. Permisif dalam pergaulan dengan membolehkan berduaan di tempat sepi. Berciuman di tempat umum dijadikan hal lumrah. Sehingga, perilaku perzinaan menjadi berita yang selalu dipertontonkan di teve dan dikabarkan di tabliod. Dari mulai perzinaan lelaki dengan perempuan yang belum menikah, perzinaan lelaki dan perempuan yang sudah menikah, sampai perzinaan sejenis: lelaki dengan lelaki, perempuan dengan perempuan. Dari perzinaan inces sampai perzinaan yang dilakukan bukan pada tempatnya. Begitulah kehidupan orang kafir. Mereka seperti hewan, bahkan lebih rendah lagi. Allah berfirman, “Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal mereka.” (Muhammad: 12)

Fudhail bin ‘Iyyadh berkata, “Allah menjadikan segenap keburukan dalam sebuah rumah, dan menjadikan kuncinya adalah cinta dunia. Dan Allah menjadikan segenap kebaikan dalam sebuah rumah, dan menjadikan kuncinya adalah zuhud dari dunia.”

Tragisnya, kepemimpinan dunia saat ini dikuasai oleh orang-orang kafir. Sehingga, kerusakannya sangat dahsyat. Jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Pola hidup materialisme mendominasi di hampir semua lapangan kehidupan. Tolok ukur kesusesan diukur dari sejauh mana berhasil meraup sebanyak-banyak materi, tanpa memperhatikan ukuran agama dan moral. Maka berlomba-lombalah setiap orang menjual diri dan harga diri untuk meraih sebanyak-banyaknya materi. Dan mayoritas umat Islam terimbas budaya materialisme itu. Pola hidupnya mirip dengan orang kafir sehingga terjadilah kerusakan yang sangat dahsyat. Realitas seperti inilah yang dikhawatirkan oleh Rasulullah saw. dalam sebuah haditsnya dimana umat Islam terkena virus wahn (cinta dunia dan takut mati) dan berpola hidup materialisme hampir sama dengan orang kafir.

Cinta dunia dan rakus terhadap harta adalah penyakit yang paling berbahaya. Segala bentuk kejahatan bermuara dari kerakusan terhadap dunia dan pola hidup materialisme: perzinaan dan seks bebas, penjualan bayi, narkoba, perjudian, riba, korupsi, dan lain sebagainya. Karenanya, Rasulullah saw. mengingatkan akan bahaya rakus terhadap harta, ”Tidaklah dua serigala lapar yang dikirim pada kambing melebihi bahayanya daripada kerakusan seseorang terhadap harta dan kedudukan.” (HR At-Tirmidzi)

Upaya penyadaran kembali umat Islam tentang hakikat dunia dan akhirat sangat penting. Bahwa keimanan terhadap hari akhir adalah prinsip yang harus terus menerus diingat dan ditanamkan kepada umat Islam sehingga motivasi dan tujuan hidup mereka sesuai dengan nilai-nilai Islam. Semakin kuat keimanan seseorang kepada hari akhir, akan semakin baik dan semakin zuhud. Sebaliknya, semakin lemah keimanan seseorang kepada hari akhir, akan semakin jahat dan semakin rakus.

Dalam sebuah riwayat disebutkan dua orang zuhud bertemu, Ibrahim bin Adham dan Syaqiq Al-Balkhi. Syaqiq bertanya kepada Ibrahim, “Apa yang Anda ketahui tentang dunia?” Ibrahim balik bertanya, “Kalau menurut Anda, bagaimana?” Syaqiq menjawab, “Jika kami tidak mendapatkanya, maka kami harus bersabar. Dan jika mendapatkannya, maka kami harus bersyukur.” Ibrahim bin Adham berkata, “Kalau seperti itu, maka anjing Balakh (sebuah kota di Afghanistan) pun melakukannya.” Syaqiq bertanya, “Lalu, bagaimana menurut pendapat anda?” Ibrahim menjawab, “Jika tidak mendapatkan dunia, kami bersyukur. Dan jika mendapatnya, kami itsaar (mengutamakannya untuk orang lain).” Demikianlah bahwa zuhud memang memiliki tingkatan.

Kesalahpahaman terhadap Zuhud

Banyak orang yang salah paham terhadap zuhud. Banyak yang mengira kalau zuhud adalah meninggalkan harta, menolak segala kenikmatan dunia, dan mengharamkan yang halal. Tidak demikian, karena meninggalkan harta adalah sangat mudah, apalagi jika mengharapkan pujian dan popularitas dari orang lain. Zuhud yang demikian sangat dipengaruhi oleh pikiran sufi yang berkembang di dunia Islam. Kerja mereka cuma minta-minta mengharap sedekah dari orang lain, dengan mengatakan bahwa dirinya ahli ibadah atau keturunan Rasulullah saw. Padahal Islam mengharuskan umatnya agar memakmurkam bumi, bekerja, dan menguasai dunia, tetapi pada saat yang sama tidak tertipu oleh dunia.

Segala yang halal itu jelas dan segala yang haram itu jelas, di antara keduanya ada yang syubhat yang harus kita jauhi dan tinggalkan. Semoga Allah menjadi kita bagian orang yang zuhud dan diberi kita pemimpin zuhud yang membimbing kita dalam memakmurkan dunia

Saat Musibah Banyak Berkah


Saat Musibah Banyak Berkah
Musibah memang sesutu yang tidak dicari. Ia datang menghampiri dalam keadaan suka ataupun tidak suka, siap ataupun tidak siap. Kadang banyak orang yang gundah gulana dan merasa sempit saat musibah menghapiri. Berprasangka buruk pada Allah dan bahkan ada yang mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Tak sedikit diantara manusia yang tersesat dengan pergi kedukun dan meminta untuk disembuhkan penyakitnya. Banyak juga yang mendatangi tempat-tempat keramat untuk mencari keberkahan walau harus mengorbankan aqidahnya.

Bagi orang yang beriman, musibah bisa menjadi sebuah nikmat. Dengan kesabaran dan keyakinan nya bahwa ia akan mendapat balasan pahala di akhirat. Dan juga kedudukan tinggi yang tidak didapat kecuali melalui ujian tersebut. Maka musibah yang ia derita menjadi sebuah kenikmatan. Semuanya itu dikarenakan harapan yang kuat bahwa Allah akan mengganti musibah tersebut dengan kenikmatan jannah.

Walau demikian, tidak diperbolehkan seseorang berdo’a untuk mendapatkan musibah. Karena kita diperintah untuk berdo’a agar mendapatkan keselamatan. Bukan malah berdo’a untuk mendapatkan kecelakaan. Tetapi jika memang Allah taqdirkan kita harus menanggung musibah, kita harus hadapi dengan perasaan ridho, kesabaran serta mengharap pahala di akhirat nanti. Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda :

لا يَنْبَغِي لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَذِلَّ نَفْسَهُ, قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ , وَكَيْفَ يَذِلُّ نَفْسَهُ؟ قَالَ:أَنْ يَتَعَرَّضَ مِنَ الْبَلاءِ لِمَا لا يُطِيقُ
Tidak selayaknya seorang mukmin untuk menghinakan dirinya. Dikatan : Ya Rasululallah, bagaimana ia menghinakan dirinya ?. Beliau berkata : Ia meminta ujian dari apa-apa yang tidak ia sanggupi. [ Shahih sunan Ibnu Majah : 3243 ].

Tips agar musibah menjadi  nikmat
Memang musibah itu sesuatu yang kurang mengenakkan. Entah itu hilangnya harta benda, cacatnya anggota badan kita, berpisahnya kita dari orang-orang yang kita cintai, hilangnya pekerjaan kita dan yang lainnya. Tetapi semuanya bisa menjadi nikmat jika kita mengetahui tujuan diantara tujuan-tujuan Allah memberikan musibah tersebut pada kita. Diantara tujuan tersebut adalah ;

Pertama : untuk mengangkat derajad serta kedudukan hamba pada hari kiamat.  Inilah ujian yang Allah berikan kepada para nabi, shalihin dan orang-orang yang Allah cintai. Ujian ini diberikan kepada mereka untuk mengangkat derajat dan untuk mendapatkan pahala yang melimpah di akhirat. Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda :

عَنْ سَعْدٍ ، قَالَ : قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ ، أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاءً ؟ قَالَ : الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ ، يُبْتَلَى الْعَبْدُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ ، فَإِنْ كَانَ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاؤُهُ ، وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٍ ابْتُلِيَ عَلَى قَدْرِ ذَلِكَ ، فَمَا تَبْرَحُ الْبَلايَا بِالْعَبْدِ حَتَّى تَدَعَهُ يَمْشِي عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ.
Dari Sa’ad berkata : Aku katakan : “Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, : “Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi. Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat (kokoh), maka semakin berat pula ujiannya. Apabila agamanya lemah, maka ia akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Seorang hamba senantiasa akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa.” [HR. Tirmidzi no. 2398, Ibnu Majah no. 4024, Ad Darimi no. 2783, Ahmad (1/185). Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 3402 mengatakan bahwa hadits ini shahih].

Dari hadist ini dapat diambil kesimpulan, bahwa seorang nabi, ulama’ dan juga orang-orang shalih tidak mungkin lepas dari ujian. Jika ada seorang ulama’ dan orang shalih yang tidak pernah mendapatkan ujian berupa cemoohan dari kaumnya atau tekanan dari orang-orang yang tidak senang terhadap dakwah mereka, hakekatnya mereka belum masuk golongan ulama’ yang ‘amilin fi sabilillah. Dan hendaknya ia melihat, sudah benarkah pemahan dan aqidahnya sehingga jalan yang ia tempuh landai-landai saja tanpa hambatan dan rintangan.

Dari hasit ini juga kita bisa ambil kesimpulan bahwa ujian dapat menghapuskan dosa-dosa kita hingga seorang hamba berjalan dimuka bumi bersih dari dosa.

Kedua : untuk menyaring orang-orang yang beriman dan memisahkan antara yang baik dengan yang jelek. Banyak orang yang mengaku telah beriman dan siap mengamalkan serta memperjuangkannya. Tetapi ketika datang ujian berupa benturan-benturan yang bertubi-tubi, diantara mereka ada yang gugur ditengah jalan. Ia mulai uzdur untuk ikut dalam perjungan tersebut. Dalam hal ini Allah Ta’ala berfirman :

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ* وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan : "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?. Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. [ QS. Al Ankabut : 2-3 ]. 

Pada ayat ini ada sebuah pertanyaan yang tidak perlu jawaban. Bahwa tidak mungkin Allah Ta’ala membiarkan seseorang mengucapkan, kami telah beriman sedangkan ia tidak diuji. Maka orang yang telah menyatakan beriman dan mengikuti jalan para nabi serta rasul dan jalan yang lurus, pasti akan diuji sehingga terbukti pengakuannya. Dengannya pula, Allah Ta’ala mengatahui orang-orang yang benar dalam pengakuannya dari orang-orang yang dusta.

Ketiga : untuk memberi hukuman kepada orang-orang yang berbuat dosa. Yang mendapatkan musibah disini bisa jadi masih termasuh dari ummat islam atau juga orang-orang musyrik dan kafir. Jika itu terjadi pada orang-orang islam, maka itu bagian dari peringatan Allah Ta’ala agar mereka kembali sadar dan bertaubat dari perbutan dosanya. Akan tetapi jika musibah itu ditujukan pada orang-orang kafir, adalah bagian dari adzab Allah pada mereka sebelum adzab yang pedih nanti diakhirat. Allah Ta’ala berfirman :

وَإِذَا أَرَدْنَا أَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيراً
Dan jika kami hendak membinasakan suatu negeri, Maka kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, Maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan kami), Kemudian kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. [ QS. Al Isra’ : 16 ].

Makna dari ayat tersebut adalah, kami perintahkan mereka untuk taat, akan tetapi mereka malah berbuat dosa. Maka sudah sepantasnya bagi mereka mendapat hukuman. [ Tafsir ibnu katsir ].
Jika musibah yang menimpa seseorang ada yang tujuannya balasan atas perbuatan dosa dan juga ada yang untuk menaikkan derajad seseorang, maka seseorang harus jeli, dimanakah posisi dia saat mendapatkan musibah. Apakah musibah tersebut peringatan dari Allah Ta’ala, atau musibah tersebut sebagai penghapus dosanya ?. jika ia salah dalam menempatkannya, akan terjadi musibah besar pada dirinya, yaitu tambah jauhnya ia dari Allah Ta’ala.

Disaat seseorang mendapatkan musibah, banyak diantara mereka yang berburuk sangka pada Allah. Ia menggerutu dan tidak sabar serta mengatakan “ kenapa Allah memberi saya musibah ini !. Padahal saya tidak melaksanakan dosa pada Allah Ta’ala”. Dia tidak sadar bahwa musibah tersebut adalah penghapus dosa-dosanya di dunia dan menaikkan derajadnya di akhirat.

Yang lainnya ada juga kelompok yang selalu melakukan kemaksiatan dan perbuatan dosa pada Allah Ta’ala. Saat musibah menghampirinya, ia berbaik sangka pada pada dirinya. Ia meyakini bahwa musibah tersebut adalah sarana menaikkan derajadnya di akhirat sebagaimana musibah yang menimpa para nabi dan orang-orang shalih. Ketahuilah wahai saudaraku. Ini buah dari ketidaktahuan mereka terhadap tujuan dari musibah.
Kita harus jeli melihat diri kita. Apakah ujian yang menimpa kita sebagai peringatan atas dosa-dosa kita, atau ia sebagai sarana untuk menaikkan derajad kita dihadapan Allah Ta’ala. Jika ujian menghampiri pada saat kita melakukan dosa, ketahuilah, ia adalah peringatan dan hukuman. Tetapi jika musibah datang saat kita melakukan ketaatan dan mengamalkan islam kita, insyaAllah ia adalah sarana untuk menaikkan derajad kita, jika kita bersabar dan mengharap pahala dari-Nya.

Sebagai penutup, marilah kita renungi perkatan Ibnul Qoyyim dalam al jawabul kaafi. Beliau berkata : Disinilah permasalah yang sangat rumit dalam masalah dosa. Yaitu mereka yang tidak dapat merasakan akibat dosa pada dirinya. Dan kadang-kadang hukuman dari dosa itu diakhirkan sehingga mereka lupa. Persis sebagaimana perkataan sya’ir :

Jika tidak berdebu tembok saat dipukul
Maka tidak lagi ada debu setelah pukulan tersebut.

subhanaAllah. Berapa banyak nikmat yang hilang dari kita?. Dan berapa banyak musibah yang menimpa kita?. Tetapi sedikit yang sadar dari kita bahwa itu adalah peringatan dari Allah agar kita kembali pada-Nya. Kembali pada jalan yang lurus dan bertaubat atas dosa-dosa kita. Semoga Allah Ta’ala menfaqihkan kita pada musibah yang menimpa kita. [ Amru

Pesona Dunia Dimata Manusia


PESONA DUNIA DIMATA MANUSIA
Dunia ini memang indah dipandang mata. Sehingga banyak mata yang terpesona melihatnya. Dunia ini memang terasa nikmat jika dirasakan. Sehingga banyak orang yang tenggelam dalam kenikmatan dan lalai akan hari kemudian. Berbahagialah orang yang bisa mengambil dunia dengan tidak tamak dan hati bersih serta hanya mencarinya dengan jalan yang halal saja. Dan celakalah orang yang terpesona dengan dunia, mencarinya dengan jalan yang tidak benar hingga ia tenggelam tanpa sadar bahwa dunia akan ia tinggalkan. Benarlah apa yang disampaikan Rasulullah sallallahu alaihi wasallam dalam hadistnya ;

عن أبي سعيد الخدري رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم قال: إنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإنَّ الله تَعَالَى مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا، فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ
Dari Abu Said Al-Khudri ra dari Nabi saw bersabda:”Sesungguhnya dunia itu manis dan lezat, dan sesungguhnya Allah menitipkannya padamu, kemudian melihat bagaimana kamu menggunakannya. Maka hati-hatilah terhadap dunia dan hati-hatilah terhadap wanita, karena fitnah pertama yang menimpa bani Israel disebabkan wanita”(HR Muslim)

Imam An Nawawi berkata ketika menjelaskan “dunia itu hijau [indah ] dan manis” : ada dua kandungan yang terdapat pada istilah tersebut. Pertama, senangnya jiwa seperti seseorang yang melihat buah-buahan yang hijau dan manis. Jiwa manusia pasti menyenangi dan berusaha untuk mendapatkannya. Itulah dunia. Yang kedua, cepatnya hilang dua sifat tersebut [ indah dan manis ]… kemudian Allah menggantikan kalian dari masa-kemasa. Dan Ia melihat apakah kalian beramal dengan mentaati-Nya atau memaksiati-Nya dan menperturutkan syahwat kalian. [ Syarkh muslim oleh An Nawawi : 9/105]

Sikap manusia terhadap dunia
Tercelanya dunia sebenarnya bukan tercelanya bumi ini dan apa-apa yang ada di dalamnya seperti laut, daratan, gunung dan yang lainnya. Akan tetapi tercelanya dunia ini dikarenakan penghunianya yang kebanyakan tidak menggunakan dunia ini dengan benar sesuai kehendak Allah Ta’ala.

Dari sinilah kita akan mempelajari kelompok manusia dan sikap mereka terhadap dunia. Tujuannya adalah agar kita terjauh dari kelompok yang dimukai Allah dalam mensikapi dunia ini. Dr. Ahmad Farid dalam buku beliau Tazkiyatun nafs wa tarbiyatuha kamaa yuqorriruha ‘Ulamaus salaf membagi menjadi dua. Diantaranya adalah :

Pertama : Orang-orang yang mengingkari bahwa tidak ada negeri kecuali dunia ini. Tidak ada pahala dan jannah serta dosa dan neraka di akhirat sana. Tentang hal ini Allah Ta’ala berfirman :

إَنَّ الَّذِينَ لاَ يَرْجُونَ لِقَاءنَا وَرَضُواْ بِالْحَياةِ الدُّنْيَا وَاطْمَأَنُّواْ بِهَا وَالَّذِينَ هُمْ عَنْ آيَاتِنَا غَافِلُونَ # أُوْلَـئِكَ مَأْوَاهُمُ النُّارُ بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan. [ QS. Yunus : 7 – 8 ].

Tidak ada dalam pikiran mereka kecuali dunia. Mulai dari tidur hingga tidur kembali tidak ada niatan lain kecuali dunia. Sehingga mereka ini disebut Allah Ta’ala seperti binatang ternak, sebagaimana dalam alqur’an ;
وَالَّذِينَ كَفَرُوا يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ الْأَنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوًى لَّهُمْ
Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang. Dan jahannam adalah tempat tinggal mereka. [ QS. Muhammad : 12 ].

Kedua : yaitu orang-orang yang mengakuai adanya kehidupan setelah mati. Mereka adalah orang-orang islam yang telah bersyahadat. Dan diantara merekapun terbagi menjadi tiga bagian :

1. Dholimun linafsih. Yaitu orang-orang yang mendholimin diri mereka sendiri. Kelompok ini adalah kelompok yang paling banyak. Mereka lalai akan hakekat kehidupan dunia dan isinya. Mereka cari dunia dengan tidak menghiraukan halal dan haram. Sedangkan merekapun tidak menyalurkan hartanya dalam hal-hal yang baik. Sehingga jadilah dunia menjadi cita-cita mereka tertinggi. Senang dan susah, membenci dan mencintai hanya karena dunia. Mereka inilah orang-orang yang terbuai dan tertipu dengan dunia.

Jika mereka memahami tentang iman, itupu hanya sekedar kata-kata yang diucapkan. Akan tetapi iman mereka belum bisa menuntun mereka untuk memahami hakekat dunia ini. Iman mereka belum bisa menggerakkan badannya untuk mengendalikan dunia dalam rangka taat kepada Allah. Bahkan sebaliknya, jiwa dan raganya ditunggangi dunia dan diperbudak olehnya.

2. Muqtashid. Yaitu orang-orang mukmin yang mengambil dunia dengan jalan halal. Mereka juga tunaikan hak-hak harta dunia sesuai dengan perintah islam. Mereka tidak rakus dalam mencari harta, dan bahkan menahan diri dari menumpuk-numpuk harta. Mereka takut jika harta tersebut melalaikan mereka dari dzikrullah. Merekapun takut jika harta tersebut mereka gunakan untuk bermewah-mewah dan bermegah-megah serta kesombongan. Inilah derajad pertengahan tentang sikap seorang mukmin terhadap dunianya.

3. Sabiqun bil khoirot. Yaitu derajad orang-orang yang berlomba dalam kebaikan. Tidaklah mereka memilih sesuatu dengan pertimbangan halal atau haram saja. Tetapi mereka lebih memilih mana yang paling baik bagi saya dan untuk akhirat saya.

Mereka inilah orang-orang yang paham terhadap tujuan Allah menciptakan dunia ini. Yaitu untuk menguji hambanya siapakah yang paling baik amalnya. Dengan kepahaman itulah mereka beramal semaksimal mungkin untuk mendapatkan derajad tertinggi di akhirat. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الْأَرْضِ زِينَةً لَّهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً
Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya. [ QS. Al Kahfi : 7 ].

Mereka kurangi beban-beban dunia agar lebih ringan dan tidak menyibukkan mereka dengan harta tersebut. Sabiqun bil khoirat ini mencukupkan dunia sebagaimana seorang musafir yang membutuh perbekalan seadanya hanya untuk mempertahankan diri selama perjalanan. Mereka paham betul dengan hadist Rasulullah sallallahu alaihi wasallam ;

مَا لِي وَمَا لِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
“Ada kecintaan apa aku dengan dunia? Aku di dunia ini tidak lain kecuali seperti seorang pengendara yang mencari teteduhan di bawah pohon, lalu beristirahat, kemudian meninggalkannya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2377, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi)

Itulah ucapan Rasulullah sallallahu alaihi wasallam yang ditiru oleh mereka. Bukan berarti mereka lari dari dunia dan hidup dengan meminta. Tetapi saat hati mereka mengarah pada dunia, mereka pupus niatan-niatan dunia tersebut, kemudian ia arahkah hatinya untuk niatan akhirat. Sehingga tidaklah ia mencari rizki, makan, tidur dan seluruh aktifitas mereka kecuali untuk akhiratnya.

مَتَاعُ الغُرُوْرِ مَا يُلْهِيْكَ عَنْ طَلَبِ الْآَخِرَةِ , وَمَا لَمْ يُلْهِكَ فَلَيْسَ بِمَتَاعِ الْغُرُوْرِ وَلَكِنَّهُ مَتَاعٌ بَلاَغٌ إِلَى مَا هُوَ خَيْرٌ مِنْهُ

[ Dunia ] adalah kesenangan yang menipu jika melalaikanmu dari mencari akhirat, sedangkan apa saja yang tidak melalaikanmu dari akhirat bukanlah kesenangan yang menipu, tetapi ia dianggap kesenangan yang menghantarkan pada sesuatu yang lebih baik (akhirat)" ( Jami' al-Ulum wal Hikam, hlm 360).

Jika Allah mentaqdirkan kita menjadi orang yang berlebih dalam hal harta, maka jadilah seperti Rasulullah sallalllahu alaihi wasallam yang sebenarnya kaya jika beliau mau mengambil bagian harta dari rampasan perang. Tetapi beliau lebih suka hidup sederhana yang kadang beberapa hari tidak mengepul asap dirumahnya. Bahkan alas tidur beliau adalah tikar yang meninggalkan bekas di badan saat setelah memakainya.

Atau seperti Abdurrahman bin ‘Auf. Seorang jutawan dan milyader yang hartanya dipergunakan untuk perjuangan islam dan menegakkan diin ini. Beliau tidak menggunakan hartanya untuk kepentingan pribadi dan bermegah-megahan. Bahkan beliau jarang makan makanan yang lezat karena takut kenikmatan di akhirat akan terkurangi dengan kenikmatan dunia yang beliau rasakan. Inilah hakekat zuhud. Yaitu meninggalkan hal-hal yang kurang bermanfaat dan membahayakan pada kehidupan akhirat.

Cinta pada dunia yang mendalam memang akan membahayakan akhirat kita. Sebaliknya, cinta akhirat yang mendalam pasti akan membahayakan dunianya. Dan sebagai seorang mukmin harus lebih mengutamakan yang kekal dibandingkan yang fana.

Sekarang, dimanakah posisi kita ?. Apakah termasuk dari sabiqun bil khairat, atau muqtashid ?. yang jelas jangan menjadi yang dhalimun linafsih, dan kita berusaha untuk menjadi shabiqun bil hairat. Jadikanlah orientasi hidup kita akhirat, dan jangan menjadikan dunia sebagai orentasi hidup kita. waAllahu a’lam bis shawab. [ Amru ].